Apakah kamu pernah merasakan bahwa dirimu adalah satu-satunya tempat yang tidak bisa kamu kembali lagi?
Ada kalanya aku merasa seolah-olah kehilangan segalanya, meskipun sebenarnya aku tidak kehilangan apa pun atau siapa pun.
Dahulu, rumahku adalah tempat di mana aku merasakan pelukan kedua orang tuaku, tempat di mana aku bisa bersikap manja, serta menjadi tempat yang sangat aman dan nyaman. Aku tumbuh menjadi anak yang ceria, dipenuhi tawa dan kebahagiaan, namun sebenarnya… aku sangat bergantung pada keberadaan mereka.
Namun, waktu berlalu dengan sangat cepat, dan kehidupan secara perlahan menjauhkan aku dari pelukan orang tua, jauh dari zona nyaman yang selama ini aku anggap masih ada. Aku pindah ke luar kota demi masa depan dan memulai hidup baru, mandiri, dikelilingi oleh orang-orang dan lingkungan yang baru.
Dunia baru telah mengubah hidupku dengan cara yang sangat signifikan, di mana masalah datang satu demi satu. Setiap malam, aku tidur dalam keadaan diliputi rasa takut, mempertanyakan apakah aku mampu melewati masa-masa ini. Aku merasa tidak yakin pada diriku sendiri karena selama ini aku selalu bergantung pada orang tuaku.
Aku menanggung semuanya sendirian, tanpa teman untuk bersandar atau berbagi cerita. Semua itu aku sembunyikan di balik senyuman.
Saat dunia begitu padat dengan keramaian, aku merasakan kesepian. Di tengah tawa dan canda orang-orang, aku merasa terasing. Di antara berbagai percakapan yang ada, tidak ada satu pun suara yang ingin kudengar atau kuperhatikan.
Orang-orang di sekelilingku juga melihatku tetap seperti sebelumnya, selalu tersenyum, tangguh, dan dapat diandalkan… Aku mulai bertanya pada diriku sendiri tanpa mengucapkannya, siapakah aku ini? Apakah aku cukup kuat untuk menghadapi semua ini? Mampukah aku bertahan tanpa pelukan itu?
Kemudian, pada suatu malam ketika segalanya terasa sangat menekan, aku duduk sendirian di sudut kamar dengan lampu mati dan tanpa suara dari orang lain yang bisa ku dengar. Untuk pertama kalinya, aku mendengar kembali suara kecil yang selama bertahun-tahun ku abaikan; suara itu bukan dari orang lain, melainkan suara diriku sendiri.
Suara itu tidak menghakimiku, dan juga tidak mendesakku untuk bangkit, ia hanya meminta agar aku duduk sejenak, melihat diriku yang sejati. Di titik itu, aku menemukan siapa diriku yang sebenarnya, bahwa hari-hari yang dulu terasa sangat menakutkan dan aku sambut dengan ketakutan, rasa tidak percaya diri, dan kecemasan, ternyata bisa aku lalui perlahan namun pasti. Di situlah aku menyadari bahwa aku lebih kuat dari yang aku bayangkan.
Dari situ aku memahami bahwa kesendirian mengajarkan banyak hal, kesendirian bukan hanya sekadar ruang hening. Bukan hanya malam tanpa sahabat, juga bukan hanya tentang kehilangan seseorang, tetapi kesendirian adalah sebuah perjalanan yang panjang, di mana aku melangkah tanpa tujuan, melewati lorong-lorong waktu, menelusuri lembah kenangan untuk bertemu dengan bayangan yang lama terlupakan saat aku berhadapan dengan diriku yang paling dalam, wajah yang pernah ditinggalkan, dan suara yang pernah ku diamkan.
Di situlah aku menyadari dan memahami bahwa kesendirian adalah pengajar yang paling sabar, ia tidak berteriak atau menghakimi, ia hanya menanti hingga aku memiliki keberanian yang cukup untuk duduk bersamanya.
Kesendirian mengajarkanku mengenai kehilangan, tentang merelakan, melepaskan, dan menerima. Pada akhirnya, aku menyadari bahwa kesendirian bukanlah lawan, melainkan sebuah jendela yang perlahan ku buka untuk melihat diriku yang sebenarnya dalam keheningan yang paling murni, paling tulus, dan paling dalam.